Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si.
Memahami
Sosiologi Pendidikan.
.jpg)
Sosiologi pendidikan pendidikan berfungsi
menyediakan visi, pemahaman dan kemampuan terhadap proses pendidikan dengan
memanfaatkan dinamika struktural dan proses sosial terkait dengan pendidikan. Proses
dan hasil-hasil pendidikan berada dalam konteks kehidupan sosial. Kajian dan
analisis terhadap keterkaitan fenomena sosial pada proses pendidikan menjadi
sangat penting untuk diketahui dan di transformasikan dan digunakan dalam
pengambilan keputusan, kebijakan maupun strategi dalam praktik pendidikan.
Menurut
Durkheim pendidikan adalah memelihara keberadaan dan kelangsungan masyarakat
tempat pendidikan tersebut berada atau ditiadakan. Pendidikan menjadi corak
cerminan dari masyarakat pendukungnya. Perbedaan pada masyrakat akan tercermin
pula dalam perbedaan sistem pendidikanya. Perubahan social dari masyarkat
agraris ke masyrakat industry berdampak pada perubahan proses pembagian kerja
yang menuju sepesialisasi. Dalam masyrakat modern spesialisasi menjadi hal
penting dan ini sangat memerlukan bergam jenis pendidikan dan ketramapilan.
Durkheim (1956) menggambarkan bahwa masyarakat mengalami perubahan-perubahan
oleh proses pembagian kerja yang terjadi.
Sosiologi merupakan bidang kajian
yang memiliki implikasi penting terhadap tumbuh kembangnya masyarakat, termasuk
tumbuh kembangnya mereka dalam dunia pendidikan. Sosiologi pendidikan dapat
membantu memberi bahan yang berharga dalam rangka dalam melihat proses
pendidikan dengan berbagai proses pendidikan dengan berbagai masalah dan
implikasi yang ditimbulkan. Selain itu sosiologi pendidikan dapat memahami
perancanaan proses implementasi, dan implikasi penerapan program maupun
kebijakan pendidikan tertentu. Sosiologi pendidikan merupakan kajian bagaimana
institusi dan kekutan sosial mempengaruhi proses dan outcome pendidikan dan
begitu pula sebaliknya
Beberapa alasan yang mendasari
pengembangan pendidikan seharusnya
dilandasi dengan konsep dan teori sosial (ZainudincM., 2010) Pertama
pendidikan harus bisa menyiapkan generasi yang siap memasuki masyrakat yang
berubah menuju masyrakat berbasis pengetahuan. Kedua praktisi pendidikan dapat
merumuskan cara menetapkan orientasi yang relevan dengan dunia yang berubah di
satu pihak, namun di lain pihak dunia pendidikan tidak mengalami distorsi.
Ketiga, pendidikan harus memiliki perangkat pisau sosiologi. Dengan bantuan
perspektif sosiologis, sekolah dan guru akan dapat memahami proses-proses
sosial.
Webber membedakan dua tipe
pendidikan pendidikan yaitu pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan
karisma atau hal yang sifatnya magis dan pendidikan yang bertuujuan menamkan
pelatihan dan keahlian khusus. (Max Webber dalam Siber dan Wilder, 1973). Sistem
pendidikan erat terkait dengan kelompok status yang memiliki gaya konsumsi atau
gaya hidup spesifik.
Sosiologi pendidikan memiliki
perspektif yang beragam sejalan dengan kergaman yang terjadi dalam perspektif
kajian sosiologi pada umumnya. Dapat dilihat perbedaan sosiologi pendidikan
yamg berorientasi pada kajian mikro dengan kajian berorientasi makro. Pada
ranah kajian mikro adalah persepsi atau harapan guru, siswa, orang tua, kepala
sekolah terhadap pendidikan, aksi dan interaksi orangtua siswa dengan guru dan
pihak sekolah. Sedangkan ranah kajian makro yaitu institusi pendidikan,
kelompok dan masyrakat pembelajaran komunitas guru, nilai dan budaya yang dikembangkan
pendidikan.
Sejumlah Teori sosial yang berada
dalam ranah kajian makro seperti teori struktural fungsional, struktural
konflik, marxian dan teori dependecia, cenderung melihat bagaiman pendidikan
diorganisasikan dan sistem pendidikan dikembangkan. Sementara di level kajian
mikro cenderung menggunakan perspektif fenomenologis, dengan penekanan pada upaya memahami apa yang terjadi di balik
fenomena, data, informasi atau realitas kehidupan individu. Perspektif mikro
lebih menekankan pada upaya memahami dunia makna.
Dewasa
ini peranan pendidikan banyak dikaitkan dengan keseluruhan usaha mengembangkan
SDM seperti usaha kesehatan, perbaikan gizi, nutrisi dan kalori, program
perbaikan ekosistem dan lingkungan, dll. Usaha pendidikan berada dalam gerakan
makro perbaikan sumber daya manusia tersebut. Untuk itu perhatian pendidikan
diarahkan ke institusi pendidikan dan institusi yang memiliki dan terkait
dengan pendidikan (Suyata dalam diktat Sosiologi Pendidikan IKIP Yogyakarta).
Posisi
sekolah adalah menjadi sentral dalam pendidikan. Dengan institusi yang lain,
sekolah mempunyai fungsi pengembangan pribadi, transmisi kultural, transformasi
sosial, pengendalian atau kendali sosial, pengembangan pimpinan masyarakat,
pemeliharaan kesatuannasional, pengembangan warga negara dan kemanusiaan.
Kajian Teoritis dalam Sosiologi
Pendidikan
Perubahan sosial yang ada di
masyarakat dapat mempengaruhi institusi pendidikan, bila perubahan sosial itu
cepat terjadi maka dampaknya pun sangat dirasakan oleh lembaga-lembaga
pendidikan, sebab lembaga pendidikan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan
untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menurut
teori struktural fungsional masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur
yang terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki
struktur yang terdiri dari banyak lembaga, dimana masing-masing lembaga
memiliki kompleksitas yang berbeda-beda, hal ini ada pada setiap masyarakat.
Misalnya, lembaga sekolah mempunyai fungsi mewariskan nilai-nilai yang ada pada
generasi baru.
Semua
lembaga yang ada di masyarakat akan senantiasa saling berinteraksi satu sama
yang lain akan melaksanakan penyesuaian sehingga masyarakat dapat senantiasa
berada pada keseimbanagan. Ketidak seimbangan akan muncul bila ada perubahan,
namun itu bersifat sementara. Karena terjadi ketidak seimbangan maka akan
mengundang lembaga lain untuk menyeimbangkan kembali.
Murphy
(1979) menunjukan empat tema yang menonjol dalam teori fungsionalis sebagaimana yang diterapkan pada sosiologi pendidikan. Pertama, ada peran pendidikan formal
dalam evolusi masyarakat modern dari partikularisme ke universalisme dan dari
askripsi ke prestasi dan peran sekolah
dalam menyeleksi peran yang lebih kapabel untuk peran-peran dewasa tertentu.
Kedua, menyelidiki disfungsi sistem pendidikan formal. Ketiga, adalah
perdebatan mengenai pengaruh biologis atau bio psikologis yang bertentangan
dengan tema sosial atau lingkungan dalam formulasi IQ, dan mencakup
problema-problema yang secara teoritis terhadap yang oprasional. Keempat,
bersifat empiris, yaitu studi dari otonomi fungsionalis yang relatif dari
bagian-bagian suatu sistem sosial dan memusatkan pada kesanggupan pendidikan
formal, mengenai ketidaksamaan, dan sebagainya.
Pendidikan
dalam pandangan tokoh fungsionalis seperti Durkheim salah satu guru besar
pedagogi di Sorbonne Paris. Drukheim (1977) menggambarkan betapa generasi muda
memerlukan bantuan pendidikan untuk mempersiapkan diri, memasuki kehidupan di
tengah masyarakat yang memiliki tata nilai tertentu. Persiapan itu perlu karena
pemuda pada dasarnya belum siap memasuki kehidupan masyakat. Menurut
Durkheim masyarakat dibangun bersama dengan cara saling bekerjasama antar
anggota. Individu tidak dapat mencapai keinginanya sendiri. Individu di tengah
masyarakat mereka memiliki spesifikasi. Mereka terbagi dalam mode pembagian
kerja yang didalamnya masing-masing memproduksi barang jasa tertentu yang
dibutuhkan orang lain.
Durkheim
mengakui saling ketergantungan ekonomi tidak cukup. Menurut dia, masih harus
ada kesepakatan dan konsensus mengenai apa yang seharusnya kita lakukan dan
yang akan kita lakukan. Durkheim yakin ada nilai dan ide utama setiap masyarakat
tentang penghargaan terhadap akal sehat, ide, dan sentimen dasar moralitas
demokratik yang mereka berikan pada masyarkat. Menurut Durkheim, melalui
pendidikan moral yang memuat sosialisasi pengalaman diperoleh dari
internalisasi masyarakat terhadap nilai dan ide sentral masyrakat. Pendidikan
dipersepsikan oleh Durkheim sebagai suatu kesatuan utuh dari masyrakat secara
keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan proses alokasi dan
distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga dipandang sebagai institusi
yang berfungsi sebagai “baby-sitting”
yang bertugas agar warga masyarakat tidak ada perilaku yang menyimpang.
Talcott
Parsons adalah tokoh fungsionalis yang paling berpengaruh dalam kajian mengenai
peran utama sekolah dalam masyarakat khusususnya masyarakat Amerika.
Tulisan-tulisan Parsons dianggap representatif dari seluruh pendekatan
fungsional (Scimecca, 1980) seperti sekolah sebagai sarana sosialisasi utama.
Dalam hal ini Parsons melihat dua fungsi dari sekolah, yaitu mengarahkan anak
dari orientasi askriptif ke orientasi prestasi dan alokasi seleksi atau
diferensial ke peran-peran dewasa yang diberi penghargaan (hadiah yang tidak
sama).
Parsons
mengungkapkan, fungsi sosialisasi sebagai perkembangan individu dari berbagai
komitmen dan kapasitas yang merupakan syarat-syarat essensial dari kegiatan
peran mereka di kemudian hari (Parsons,1959). Sekolah merupakan struktur utama
untuk menanamkan sistem umum ini, selama bertahu-tahun untuk mengarahkan para
individu ke arah-arah peran dewasa, kompeten dan memiliki motivasi yang wajar.
Parsons
mengutamakan fungsi spesial dari sekolah adalah untuk mensosialisasikan anak dari
orientasi partikularisme adalah menganai tingkat objektivitas atau standar yang
digunakan secara objektif murni atau sempurna. Sekolah berfungsi untuk mensosialisasikan anak dari
orientasi partikularisme dan askripsi yang biasa dialaminya di rumah ke
orientasi universal dan prestasi yang pada umumnya lebih dibutuhkan kelak
dikemudian hari. Siswa yang memiliki prestasi tinggi dan memiliki motivasi
dapat terpilih untuk peran-peran yang penting dan sulit. Sehingga seleksi dan
alokasi yang dilakukan melalui proses di sekolah dan prestasi motivasinya
adalah benar-benar fungsional dan sesuai dengan kebutuhan masyrakat. Parsons
juga menyadari bahwa tidak semua siswa diberi kesempatan sama, akan berhasil
pula.
Robert
K. Merton sorang ahli sosiologi kontemporer ynag paling terkenal, yang telah
berhasil menjelaskan makna dan konsep. Merton dengan hati-hati menunjukan bahwa umumnya masyarakat tidaklah seluruhnya sempurna terintegrasi sehingga setiap
kegiatan kultural yang terstandar dan dan terlembaga adalah fungsional. Merton
(1969) memperkenalkan perbedaan yang sangat berguna antara antara fungsi
manifes dan fungsi laten. Funsi manifes adalah fungsi yang disengaja
direncanakan dan bersifat terbuka sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang
tidak sengaja atau tidak diakui.
Pendidikan
dalam teori dan tokoh konstruksionis seperti Max Webber dan Peter L. Piere
Bourdieu dan Berger dan Thomas Luckman. Dalam pendidikan konstruktivistik,
pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa.
Para konstruktivistik tidak sependat dengan adanya suatu pandangan bahwa mngajar
dalah mentransfer pengeathuan. Pada dasarnya pengetahuan itu tidak dapat
ditransfer, melainkan di konstruksi sendiri oleh peserta didik. Menurut
pandangan kontruksivisme , belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta,
melainkan merupakan suatu proses pengembangan pemikiran dengan membuat
pengertian baru. Pembelajaran dalam paradigma konstruktivis menjadikan siswa aktif dan menentukan apa yang harus dilakukan kepada bagaimana cara siswa
mengkonstruk makna kehidupan dan dunianya.
Pendidikan
dalam pandangan tokoh konstruksionis Max webber dapat dianggap sebagai suatu variabel kelas atau variabel status. Pengetahuan
dan ketrampilan didapat seseorang melalui pendidikan di sekolah dapat
mempertinggi kemampuan pemasaran di dunia ekonomi yang akan mengantarkannya
pada posisi kelas tinggi. Paham Weberian beranggapan bahwa
ketrampilan-ketrampilan yang dituntut pada pada pelaksanakan pekerjaan dapat
dikerjakan secara efisien di tempat kerja dan belum tentu mereka yang
berpendidikan tinggi lebih terampil dari mereka yang diberi latihan-latihan.
Peter
L. Berger dan Thomas Luckman menyatakan bahwa manusia mengkonstruksi realitas
sosial meskipun melalui proses subyektif namun dapat berusaha menjadi
subjektif. Hubungan antar individu dan institusi bersifat dialektis atau
interaktif dalam suatu rumusan yang berisi tiga momen yaitu masyarakat adalah
produk manusia, masyarakat adalah realitas objektif, manusia adalah produk
masyarakat. Berger dan Luckman menjelaskan bahwa makna-makna umum yang dimiliki
bersama dan diterima tetap dilihat sebagai dasar dari organisasi sosial, namun
makna yang berkembang diluar makna-makna umum merupakan hasil manusia yang
muncul dari lingkungan sosial yang diciptakannya.
Bourdieu
(Tilaar, 2007) mengungkapkan habitus muncul dalam beberapa bentuk seperti
kencenderungan empiris untuk bertindak, motivasi atau prefensi, perilaku
menjelma menjadi kepribadain, tantangan dunia, ketrampilan dan kemampuan sosial
dan aspirasi yang berkaitan dengan hidup. Bourdieu menggunakan konsep modal
budaya dalam rangka mengeksplorasi perbedaan outcome atau prestasi siswa dari berbagai kelas yang berbeda dalam
sistem pendidikan di Prancis.Meurut Bourdieu modal budaya kelompok dominan,
pada tataran praktis dan dalam relasinya dengan budaya diasumsikan menjadi type
modal budaya yang dianggap paling tepat. Modal budaya kelompok dominan inilah
yang dinilai legitimate.
Sumber
Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya
Zainudin, Maiki. 2010. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar