-->

Minggu, 31 Maret 2019

Teori Praktik, Habitus, Arena dan Modal

Oleh: Tegar Firman A
Pikiran sosiolog postmodern sudah tidak lagi memperdebatkan perbedaan pandangan antara realitas sebagai objek (reifikasi) atau subjek (volunter). Karya soisolog Pierre Bourdieu yang satu ini berhasil menjembatani subjetivitas dan objektivitas yang selama ini diperdebatkan dalam kajian ilmu sosial. Keberhasilan Bourdieu terletak pada konsepnya yang terkenal yaitu habitus  dan arena, serta hubungan dialektikalnya satu dengan yang lain.

Habitus adalah suatu nilai yang dinternalisasi oleh manusia untuk kemudian dijadikan world view atau cara bertindak manusia. Misalnya seseorang yang sejak dari kecil sudah terbiasa disiplin maka akan sangat merasa bersalah jika satu ketika tidak disiplin. Kebiasan sejak kecil tersebut sudah terpola dalam pikiran sehingga mampu mengendalikan fisik. Proses penghabitusan bermula dari berbagai agen sosialisasi mulai dari keluarga hingga masyarakat. Pada akhirnya proses tersebut menciptakan kumpulan pengetahuan dipikirannya.

Arena adalah tempat atau ruang yang berada di masyarakat dimana seseorang dapat mengaktualisasi dirinya berdasarkan kemampuannya. Bourdieu melihat arena seperti sebuah tempat pertempuran dimana seseorang yang mampu berdaptasi atau menguasai medan pertempuran maka dianggap sebagai pemenangnya. Sebagai contoh seseorang yang ahli komputer tentunya tidak akan relevan jika berada di suatu masyarakat yang belum menggunakan tenaga listrik. Kemampuan seseorang tersebut pada akhirnya tidak terlalu dibutuhkan oleh masyarakat.

Perlu dipahami bisa saja antara orang yang satu dengan yang lainnya memiliki habitus yang sama namun pada akhirnya berada di arena yang berbeda. Mengapa hal tersebut terjadi? Hal tersebut dipengaruhi oleh modal. Sebagai contoh Ani dan Joni dibesarkan di keluarga yang sama dan memiliki habitus yang sama yaitu prinsip pantang menyerah.Hal yang membedakan adalah Ani memiliki modal berupa ekonomi sedangkan Joni memiliki modal sosial berupa prestasi akademik. Ketika dewasa Ani menjadi pengusaha suskses di kotanya sedangkan Joni menjadi pakar ekonomi di suatu universitas.
Menurut Bourdieu kemampuan seseorang di dalam suatu arena selain dipengaruhi oleh habitus (kebiasaaan) juga dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Modal tersebut dapat berupa modal ekonomi, sosial, budaya dsb. Perlu diketahui meskipun seseorang telah menyadari habitu dan modal yang dimiliki belum tentu juga harapan seseorang tersebut dapat berjalan dengan baik dalam arena. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai macam persaingan.

Ternyata manusia juga tidak bisa sembarangan atau secara pribadi dapat menentukan habitus serta modal yang dimilikinya. Menurut Bourdieu hal tersebut dipengaruhi oleh doxa, dominasi simbolik dan hegemoni. Sebagai contoh ketika kalian kecil pasti ada yang bercita-cita ingin menjadi dokter.  Profesi dokter saat itu disosialisasikan oleh keluarga, guru dan orang sekitar sebagai cita-cita yang tinggi dan mulya. Secara tidak sadara anak kecil yang menerima informasi tersebut termotivasi untuk belajar. Belajar disini adalah mendapatkan nilai bagus supaya relevan untuk mendapatkan sekolah kedokteran. Karena si anak juga mendapatkan informasi bahwa masuk kedokteran tidaklah mudah dan harus berprestasi. Hal tersebut merupakan dominasi simbolik tentang profesi dokter.

Saat kita membangun habitus melalui proses internalisasi mungkin kita bisa memilih mana yang baik dan buruk dan pantas tidak pantas. Akan tetapi nilai-nilai tersebut tentunya berdasarkan paksaan dan dorongan yang ada diluar diri seseorang. Ketika kita menolak suatu saran dari orang lain pastinya kita menerima saran dari yang lainnya. Doxa memiliki kekuatan yang besar untuk memengaruhi habitus seseorang. Doxa semacam tatanan sistematis dan baku yang tertanam dalam pikirian individu. Contoh doxa yang paling umum adalah 'cintailah produk Indonesia' nah hal tersebut disosialisasikan berulang-ulang hingga seseorang sudah sukarela bahkan bangga menjalankan doxa tersebut. Bahanya informasi hoaks yang disosialisasikan berulang-ulang juga dapat menjadi kebenaran dan doxa.

Bourdieu melihat bahwa tindakan dan praktik seseorang dimasyarakat dipengaruhi oleh berbagai variabel. Menurutnya bagaimana merubah suatu habitus individu dan masyarakat kuncinya melalui bahasa. Bahasa merupakan kekuatan untuk saling mendominasi, saling mengendalikan bahkan menciptakan doxa baru.

#sosiologibudaya #sosiologi #pendsosiologiuny #ilmusosial #kritiksosial #sains #pierrebourdieu


(Habitus x Modal) +. Ranah = Praktik : Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran. Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra

SIMULAKRA & HIPEREALITAS

Oleh: Tegar Fieman

Pada postingan kali ini membahas ilmu sosial era postmodern dengan gagasan dan pemikiran yang cenderung eksentrik menurut saya. Pemikiran yang cenderung unik karena tokoh sosiologi yang satu ini justru menolak adanya realitas sosial karena yang terjadi saat ini merupakan suatu hiperealitas sosial (melebihi kenyataan). Tokoh sosiologi yang memiliki pemikiran tersebut bernama Jean Baudrillard. Budrillard merupakan sosiolog postmoderen dari Perancis.

Menurutnya, peradaban moderen yang serba rasional dan semakin nyata karena meninggalkan hal irasional ternyata justru menciptakan keabsurdan baru. Cita-cita modernisasi itu sendiri ingin memperlakukan dunia secara rasional dan faktual. Sehingga mitos, khayalan, dan metafisik sudah mulai ditinggalkan. Cara pandang seperti itu membuat masyarakat menciptakan berbagai macam inovasi bidang pengetahuan, metode, sistem sosial dan teknologi. Penciptaan dunia yang lebih rasional tersebut jistru menciptakan mitos dan ilusi baru.

Permasalahan tersebut bermula dari sebuah kotak ajaib bernama televisi. Dimana kotak tersebut memancarkan cahaya berisi gambar bergerak ‘layaknya’ kehidupan nyata.
Baudrillard melihat bahwa kecanggihan teknologi mampu membuat imajinasi menjadi hal yang nyata, bahkan menciptakan kenyataan baru yang disebut proses simulakra.
Simulakra ini merupakan suatu konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas tanpa menghadirkan relaitas itu sendiri. Sebagai instrument simulacra adalah membuat hal abstrak menjadi konkret dan yang konkret menjadi abstrak. Sebagai contoh  anak-anak dan orang tua jaman sekarang pasti mengenal karakter spongebob. Ternyata tokoh imajiner tersebut memiliki pengaruh yang besar di masyarakat sampai-sampai lembaga sensor televisi ingin menghentikan penayanganya. Belum lagi anak-anak sekarang pasti tau bagaimana gaya spongebob tersebut tertawa. Contoh yang lain adalah dalam film Fast to Furious 7 bagaimana karakter Paul Walker dapat diperankan kembali melalui teknologi CGI. Seolah-olah seseorang yang sudah tidak ada dapat dihidupkan kembali.


Menurut Baudrillard simulakra ini suatu bentuk kerancuan, kehancuran dan keabsurdan antara nyata dan tidak nyata. Apa yang dialami manusia saat ini menurut Baudrillard merupakan salinan bahkan rekayasa dari salinan dari kenyataan yang ada. Teknologi berhasil menduplikasi suatu kenyataan bahkan menciptakan kemyataan baru. Pada akhirnya seseorang mulai dibiat mabuk tentang batas ruang nyata dan imajiner. Keadaan tersebut membuat Baudrillard mengkritisi kembali konsep tentang ‘nyata’ secara epistemologis.

Saat ini informasi dan hiburan tentunya sudah dapat diakses melalui kotak kecil bernama smartphone. Ponsel pintar tersebut tentunya lebih mudah untuk dibawa kemana-mana dibandingkan televisi. Bahkan fitur yang disajikan dalam teknologi tersebut jauh lebih canggih dari televisi. Hal tersebut memudahkan seseorang terjebak dalam ilusi-ilusi. Coba perhatikan teman kalian yang merasa sedih setelah menonton drama Korea di Youtube. Perhatikan juga yang tiba-tiba marah tidak jelas karena kalah bermain PUBG. lihat juga teman yang berubah moodnya ketika melihat foto barang mewah milik teman di instagramnya. Psikis dan kondisi manusia dibuat kacau oleh hantu-hantu digital tersebut. Manusia dipaksa berpindah-pindah dari satu realita ke realita yng lainnya dengan kecepatan tinggi. Mereka dipaksa untuk bisa menyelesaikan tugas kantor sekaligus menyelesaikan tigas dikeluarganya. Apa yang dulu dianggap privasi kini beralih menjadi konsumsi publik. Inilah problem masyarakat milenial yang disebut Baudrillard sebagai simulakra.

Bukan hal yang mengejutkan jika manusian jaman sekarang cenderung menjadi pemarah dan sadis saat berada di media sosial maupun kegidupan sehari-hari. Ketenenangan mereka dicampuri oleh masifnya arus informasi yang diterima. Pemikiran kritis Baudrillard mungkin cenderung technopobhia namun menurut saya pandangan seperti ini diperlukan untuk menggelitik bahkan menampar eksistensi manusia diantara dominasi teknologi.

sosiologi #sociology #simulacra #sosialkritis #ilmusosial #sains #socialscience #ilusi

Baudrillard, Jean. 1981. Simulacra and Simulation. French: Editions Galilee.

Hidayat, Medhy Aginta, 2012. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang. Pemikiran Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra.