-->

Minggu, 13 April 2014

Potret Manusia Perkotaan


Aktivitas Masyarakat Perkotaan

Apa itu Kota?

Sebelum dijelaskan lebih jauh, sebaiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kota. Menurut Prof. Bintarto kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang matrealistis. Atau ada pula yang diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan matrealistis dibandingkan dengan daerah belakangnya (Bintarto, 1983:36).

Bagaimana Penghuninya?
Ketika kita berbicara suatu wilayah, belumlah "komplit" jika kita tidak mencoba untuk menafsirkan perilaku dari penghuninya. Karena penghuni tersebutlah yang nantinya akan menjadikan wajah perkotaan menjadi seperti apa. Mengutip dari Yasraf (2010:232) bahwa wajah manusia kota dapat dicirikan menjadi 10 macam:
  1. Manusia ekonomi: Dimana hubungan berdasarkan pada fungsionalitas dan profesionalitas, bukan kekerabatan. Ini merupakan wujud realita dari merosotnya nilai-nilai masyarakat yang berlandasakan filosofi dari adagium "makan tidak makan yang penting kumpul", dimana semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan sudah dilandasi dengan keuntungan yang ditakar sesuai ukuran "saku pribadi". "Manusi ekonomi" juga memiliki suatu pandangan bahwa persahabatan dan kebahagiaan itu dapat dibeli.
  2. Manusia individualis: Lebih mengutamakan ego dibandingkan kolektivitas. Hubungan mereka hanya didasarkan pada kepentingan pribadi. Menurut sosiolog Ferdinand Tonies, ciri masyarakat perkotaan merupakan bentuk kelompok gessellschaft. Hubugan dalam bentuk kelompok tersebut hanyalah hubungan yang dibentuk sementara disaat mereka masih saling memberikan "keuntungan" atau disaat ada kepentingan. Dalam situasi seperti ini banyak individu yang tidak saling mengenal dengan individu yang lainnya. Setiap hari seseorang merasa berjumpa dengan orang-orang yang asing baginya. Di sisi lain mereka juga dapat saling mencurigai. 
  3. Manusia kecepatan: Segala sesuatu harus diselesaikan secara instant dan cepat. Hal tersebut disebabkan karena aktivitas dan mobilitas masyarakat perkotaan yang sangat masif dan dinamis. Seseorang harus dituntut dapat menyelesaikan pekerjaan saat itu juga supaya tidak menggangu urusan yang lainnya. Misalnya seseorang yang selalu sibuk dengan pekerjaannya hanya memiliki waktu sedikit untuk mengikuti kajian ilmu agama. "Manusia kecepatan" selalu memanfaatkan sela waktu dalam pekerjaannya untuk mengikuti kajian melalui media elektronik seperti televisi, radio dan internet meskipun hanya beberapa menit. Dalam hal ini seolah-olah "manusia kecepatan" telah menghadirkan penceramah agama di hadapannya atau manusia tersebut telah  "berpindah ruang" ke tempat kajian agama. Intinya keadaan seperti itu menuntut manusia untuk beraktifitas secara cepat.
  4. Manusia multitasking: Dapat mengerjakan berbagai pekerjaan dalam satu waktu. Selain cepat manusia perkotaan juga dituntut untuk dapat menyelesaikan berbagai macam pekerjaan secara bersamaan (simultan). Untuk dapat melakukan hal tersebut, seseorang harus membutuhkan asisten "pribadi". Asisten yang dimaksud bukanlah asisten manusia melainkan asisten berupa teknologi yang disebut gadget. Pemandangan yang umum dijumpai di perkotaan adalah mereka tidak hanya berinteraksi antar sesama manusia namun juga berinteraksi dengan teknologi. Interaksi tersebut bertujuan untuk menyelesaikan pekerjaan secara cepat dan simultan.
  5. Manusia Digital: dalam menjalankan aktifitas selalu mengandalkan teknologi digital. Teknologi digital banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan dikarenakan lebih canggih, cepat dan mudah pengoperasiannya. Selain itu, penggunaan teknologi digital mampu menunjang aktivitas yang dilakukan secara cepat dan simultan, Perilaku "manusia digital" mudah sekali ditemukan di perkotaan. Perilaku yang sering dijumpai adalah seseorang selalu membawa dan mengoperasikan handphone, tablet atau laptop di setiap aktivitasnya.
  6. Manusia penyendiri: manusia yang teralienasi, kesepian meskipun dikeramaian kota. Masalah ini muncul karena mereka bersifat individualis dan menjadi manusia ekonomis. Menjalin hubungan secara intim dan personal menjadi hal yang sulit dilakukan di perkotaan. Selain itu, perkotaan juga menyediakan berbagai macam kebutuhan dan fasilitas, sehingga seseorang mampu hidup tanpa kerabat atau saudara. Misalnya, dalam tradisi jawa khsususnya di pedesaan ada istilah "sambatan", yaitu gotong-royong membangun rumah. Dalam masyarkat perkotaan mereka cukup membayar jasa tukang bangunan maka masalah selesai. Selain itu, munculnya "manusia penyendiri" diakrenakan karena mereka memiliki banyak privasi. Seseorang lebih merasa senang jika privasinya tetap terjaga dibandingkan harus bersikap terbuka dengan orang-orang yang belum tentu dapat dipercayainya.
  7. Manusia kebendaan: Kehidupan manusia dikuasai oleh materi. Materi menjadi komponen vital dalam menunjukan eksistensi. Benda menjadi manifestasi dari status orang yang tinggal di perkotaan. Benda juga menjadi alat pengukur kelas-kelas sosial di masyarakat perkotaan. Selain itu, benda juga menjadi sesuatu yang harus diperoleh masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan lebih cenderung melihat sesuatu secara fisik "kebendaan", meskipun secara esensi memiliki makna yang sangat dangkal. Misalnya, seseorang sudah memiliki satu handphone dengan alasan dangkal merasa bosan (konsumtif), maka memiliki keinginan untuk membeli handphone lagi .
  8. Manusia tanda: objek sebagai tanda mendefinisikan status seseorang. objek kemudian menjadi tanda-tanda sosial, yang memberikan makna sosial bagi pemiliknya. Misalnya, masyarakat perkotaan cenderung mencari barang-barang mewah dan bermerek sebagai penanda status sosialnya. Masyarakat perkotaan selain memburu materi juga memburu tanda, meskipun secara esensi mereka kurang membutuhkannya.
  9. Manusia citraan: meskipun citra tidak hanya dipentingkan diperkotaan, namun citra tumbuh pesat dan cepat diperkotaan. Eksistensi kota dan manusia yang menghuninya sangat bergantung pada eksistensi citraan yang membangungnya. Misalnya, manusia berlomba-lomba mencari nama baik melalui pencitraan (melalui televisi, tinggal di kawasan elite, menggunakan produk bercitra gaya hidup) dalam rangka menemukan eksistensinya.
  10. Manusia informasi: keberadaan kota tidak dapat dipisahkan dari informasi yang membangunnya. Informasi menjadi mutlak dalam kehidupan perkotaan agar eksistensi mereka tetap terjaga. Masyarakat perkotaan tidak dapat lepas dari berbagai macam informasi yang muncul. Seseorang akan merasa tertinggal dengan masyarakat lainnya ketika tidak mengetahui suatu informasi. Informasi tersebut sering diakses oleh masyarakat melalui media cetak dan media elektronik. Informasi merupakan komoditi "penting" atau menjadi konsumsi sehari-hari bagi masyarakat perkotaan. Meskipun informasi-informasi tersebut tersebar secara luas dan  cepat namun, beberapa informasi yang dikonsumsi sebenarnya kurang dibutuhkan oleh mereka. 
Dari penjelasan tentang kota dan penghuninya, seakan-akan telah menggambarkan masyarakat di perkotaan perilakunya tidak seperti apa yang kita harapkan. Sebelumnya, dalam pandangan seseorang kota merupakan pusat dari peradaban karena di dalamnya terdiri dari berbagai macam kebudayaan yang terus dibangun. Namun yang terjadi sebaliknya, dimana banyak nilai-nilai luhur dan kemanusiaan justru luntur dan terdistorsi di dalamnya. Namun bagaimana pun juga kota menjadi wilayah untuk mencari nafkah bagi sebagian besar manusia. Kota juga menawarkan lebih banyak macam fasilitas untuk memnuhi kebutuhan atau keinginan manusia. Hanya saja dalam kondisi-kondisi tertentu kota tidak menyajikan keramahan bagi yang  menyinggahinya.

 Sumber:
Bintarto. 1983. Interaksi Deda Kota Dalam Permasalahannya. Yogjakarta: Galia Indonesia.
Yasraf. 2010. Dunia Yang Dilipat (Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan). Bandung: Matahari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar