Judging is bad |
Apakah
anda pernah melakukan prasangka? Lalu, apa itu prasangka? Dalam merespon sesuatu manusia seringkali membuat hipotesis awal atau
jawaban-jawaban sementara meskipun belum diketahui kepastiannya. Manusia juga
sering menggunakan refrensi dan persepsi yang ada dalam pikirnannya untuk
mengeneralisir situasi di sekitarnya, meskipun refrensi dan persepsi yang
dimilikinya belum tentu absah kebenarannya. Selain
itu, manusia sering menduga-duga tentang peristiwa yang akan terjadi di masa
depan, masa lalunya dan peristiwa yang
terjadi pada manusia yang lainnya. Bahkan sebelum manusia berusaha mencari fakta
yang sebenarnya, yang pertama kali dilakukan adalah menduga-duganya terlebih
dahulu. Sebagai contoh, ketika malam hari anda sendirian mengunjungi rumah yang
telah ditinggal penghuninya selama bertahun-tahun, tentunnya akan muncul
kekhawatiran di pikiran kita. Kekhawatiran tersebut semakin kuat ketika kita teringat
dengan mitos dan cerita yang beredar tentang misteri rumah tersebut, sehingga
membuat kita tidak dapat berpikir rasional. Pada akhirnya, kita memutuskan
untuk tidak masuk karena kita sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan
(irasional) yang tidak ingin kita alami jika kita mencoba masuk. Padahal ketika
kita memutuskan untuk masuk, belum tentu hal-hal buruk yang muncul di pikiran
kita akan terjadi. Selain dari contoh tersebut, tentunya manusia selalu mengalami
hal-hal serupa, meskipun kasusnya berbeda. Dengan demikian, kita sebagai
manusia sebenarnya sudah melakukan ‘prasangka’ sejak lama. Mungkin, ketika usia
kita masih dini, kita lebih sering melakukannya karena pengetahuan kita tentang
sesuatu masih terbatas. Perlu diketahui, prasangka setiap manusia mungkin dapat
berbeda karena refrensi dan arsip yang tersimpan dalam pikirannya juga berbeda-beda.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan
mengenai prasangka dari perspekti keimuan sosial. Penjelasan umum mengenai
prasangka itu sendiri adalah suatu tindakan membuat keputusan sebelum
mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini
merujuk pada penilaian berdasar ras (ciri fisik) seseorang sebelum memiliki
informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut.
Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras.
Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak
terpengaruh oleh alasan rasional (Rosnow,
Ralph,1972). John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga
kategori: (1) Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar. (2) Prasangka
afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai. (3) Prasangka
konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Menurut Johnson (1986), prasangka adalah sikap paotif atau negatif berdasarkan
keyakinan stereotip kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Seperti halnya
sikap, prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan
terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka
yang berbasis ras kita sering sebut rasisme, sedangkan yang berdasarkan etnik
kita sebut etnisisme. Selanjutnya Kartono, (1981) menguraikan bahwa prasangka
merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang
terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang
menyederhanakan suatu realitas.
Melalui penjelasan di atas, kita
mengetahui bahwa prasangka memiliki sisi lain yang dapat `memperburuk`
kehidupan manusia itu sendiri. Prasangka menjadi hal yang buruk bagi manusia
jika tidak pernah ditindak lanjuti, dan diverifikasi kebenarannya. Prasangka juga dapat menutupi fakta,
dan kebenaran yang terjadi. Beberapa
jenis diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat hal itu tidak
disetujui. Prasangka akan
menjadi baik jika diikuti tindakan selanjutnya, seperti pengungkapan fakta dan
kebenaran. Dalam kehidupan sosial prasangka dapat mempengaruhi interaksi
seseorang, dimana hubungan mereka biasanya menjadi tidak harmonis dan bersikap
sentimen. Meskipun di sisi lain prasangka justru membuat suatu hubungan antar
manusia menjadi harmonis. Para ilmuwan sosial telah mengembangkan beberapa
teori untuk menjelaskan prasangka.
Prejudice |
A.
Perspektif
Psikologis
Sebagai pembanding awal, supaya tidak terlalu
memandang sesuatu hanya dari satu perspektif saja, maka sebaiknya akan
dijelaskan melalui perspektif psikologis lebih dulu, dan baru kemudian
penjelasan melalui perspektif sosiologis. Tahun 1939, psikolog John Dollard
mengemukakan bahwa prasangka merupakan produk frustasi. Frustasi muncul sebagai
akibat minimnya upah kerja sehingga mereke mencari-cari sesuatu untuk
dipersalahkan. Sasaran dari kambing hitam biasanya berkaitan dengan ras, etnis,
gender, usia, agama minoritas yang secara tidak adil dipersalahkan atas permasalahan
yang mereka alami. Bahkan frustasi ringan juga dapat meningkatkan prasangka.
Psikolog Emory, Judah, dan Donald (1959) melakukan eksperimen untuk mengukur
prasangka pada mahasiswa. Pertama mereka memberikan kepada para mahasiswa soal
yang sulit sehingga mahasiswa tidak memiliki cukup waktu unutk menjawabnya.
Setelah mahasiswa mati-matian menyelesaikan soal tersebut, para eksperimenter
menggelengkan kepala dan menghina mahasiswa tersebut dengan berkata tidak dapat
menyelesesaikan soal semudah itu. Tindakan selanjutnya, eksperimenter mengukur
tingkat frustasi siswa yang mengalami penignkatan. Para mahasiswa mengarahkan
frustasi mereka ke luar, ke orang-orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
hinaan yang eksperimenter berikan kepada para mahasiswa.
Psikolog Theodor Adoorno, juga berpendapat bahwa
orang yang mudah berprasangka adalah seorang konformis yang tidak merasa
nyaman. Orang-orang seperti ini memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap
otoritas dan tunduk pada atasan mereka. Mereka percaya bahwa sesuatu itu hanya bisa
benar dan salah. Adanya ambiguitas dapat mengganggu orang tersebut, khususnya
di bidang seks dan agama. Mereka menjadi cemas manakala mereka berhadapan
dengan norma dan nilai yang berbeda dari yang dianutnya. Adorno (1950) menguji
sekitar dua ribu orang, mulai dari guru besar perguruan tinggi sampai penghuni
penjara. Untuk mengukur etnosentrisme, anti-semitisme, dan dukungan terhadap
pemimpin otoriter, ia memberi mereka tiga tes. Adorno menemukan bahwa mereka
yang memperoleh skor tinggi pada suatu tes memperoleh skor tinggi pula pada
kedua tes yang lain. Sebagai contoh, orang yang setuju dengan anti-semit setuju
pula bahwa pemerintah harus bersifat otoriter dan cara hidup asing merupakan
ancaman bagi cara hidup pribumi.
B.
Perspektif Sosiologis
Para sosiolog memiliki anggapan yang berbeda dengan
penjelasan psikologis. Menurut mereke penjelasan psikologis tidaklah memadai.
Sosiolog memandang bahwa prasangka itu bukanlah sesuatu yang ada dalam diri
seseorang, melainkan faktor yang ada di luar dirinya. Fokus dari sosiologi
adalam menitiberatkan pada bagimana lingkungan tertentu dapat memupuk prasangka dan lingkungan yang lainnya
tidak. Sosiologi menggunakan tiga perspektif untuk mengkaji prasangka yaitu, perspektif
fungsionalisme, konflik dan interaksionisme simbolis.
1.
Perspektif Fungsionalisme
Hakekat
prasangka yang fungsionalis dan dibentuk oleh lingkungan sosial diperagakan
oleh psikolog Muzafer Carolyn Sherif (1953).
Dalam suatu kamp musim panas bagi laki-laki, anak-anak yang semulanya saling
bersahabat baik ditempatkan pada pondok-pondok yang berbeda. Kemudian
masing-masing pondok diatur agar antar penghuni pondok nantinya bersaing di
bidang olahraga. Hanya dalam beberapa hari terbentuklah kelompok yang kuat, dan
anak-anak yang semula bersahabat baik pada akhirnya saling mengejek dengan
sebutan “cengeng” dan “perempuan” serta menampilkan ketidak sukaan yang intens
satu sama lain. Studi Sherif menunjukan kepada kita beberapa pelajaran penting
mengenai kehidupan sosial. Harap diperhatikan bahwa kita dapat mengatur
lingkungan sosial untuk mengembangkan perasaan positif atau negatif terhadap
orang, dan bagaimana prasangka muncul jika kita saling mempertemukan kelompok
dalam suatu situasi kompetisi. Dalam hal ini prsangka yang dilakukan oleh
seseorang dapat bersifat fungsional. Prasangka justru dapat menciptakan
solidaritas kelompok (in group).
Hubungan di dalam kelompok akan semakin kuat, dengan dimunculkannya
prasangka-prasangka terhadap kelompok lainnya (out group). Dalam suatu kompetisi prasangka dapat memberikan suatu
pengaruh yang cukup kuat. Meskipun demikian, prasangka juga dapat bersifat
disfungsional, dimana prasangka justru merusak hubungan manusia.
2.
Perspektif Konflik
Para
penganut teori konflik pun menganalisis apa yang terjadi jika suatu kelompok
dihadapkan dengan kelompok lain, namun mereka lebih memfokuskan pada bagaimana
pengaturan tersebut menguntungkan pihak yang berkuasa. Kaum yang berkuasa
selalu memantau keinginan para pekerja atau bawahan untuk mendapatakan makanan
yang lebih baik, layanan kesehatan, perumahan dan pendidikan. Untuk mendapatkan
hal itu, para pekerja harus mendapatkan pekerjaan yang baik. Jika para pekerja
bersatu mereka dapat menuntut upah lebih
tinggi dan kondisi pekerjaan yang lebih baik. Jika kaum kapitalis dapat memecah
belah kaum pekerja (proletar), mereka dapat menekan anggaran untuk upah pekerja
dan mencegah protes dari pekerja. Untuk melakukan ini kaum kapitalis (borjuis)
memiliki dua senjata utama. Senjata pertama ialah membiarakn pekerja merasa
tidak aman. Ketakutan kehilangan pekerjaan merupakan cara yang secara khsusus
berperan sangat baik. Ketakutan semacam ini yang membuat mereka menjadi patuh.
Senjata yang kedua adalah mengeksploitasi perseteruan ras dan etnis.
Menghadapkan pekerja dengan pekerja lain akan memperlemah posisi tawar-menawar
mereka. Penyebaran isu untuk menciptkan rasa takut dan kecurigaan antara
kelompok, ras, dan etnis, dengan cara memberi tahu bahwa orang kulit hitam akan
mengambil alih seluruh pekerjaan yang didominasi oleh orang kulit putih.
Hasilnya adalah para pekerja terbagi mengikuti ras, etnis, dan gender.
Menurut
para penganut teori konflik, konsekuensinya berisfat destruktif. Hal tersebut,
sama yang dieksperimenkan oleh Sherif. Pembagian antar pekerja mengalihkan
kemarahan dan permusuhan dari kaum elit kekuasaan dan menyalurkan emosi kuat
ini ke kelompok dan ras lain. Alih-alih menyadari kepentingan bersama kelas
sosial mereka dan berkerja demi kesejahteraan bersama, mereka belajar untuk saling
menakuti dan tidak saling percaya.
3.
Perspektif Interaksionisme Simbolis
Jika
para penganut teori konlik menitikberatkan peran kamu kapitalis dalam
mengeksploitasi ketidaksetaraan ras dan etnis, para penganut interaksionisme
simbolis mempelajari cara label mempengaruhi persepsi dan menciptakan
prasangka.
a. Label Menciptakan Prasangka
Para penganut interaksionisme
simbolis menekankan bahwa label yang kita
pelajari mempengaruhi cara pandang kita terhadap seseorang. Label membuat
kita melakukan atensi selektif (selective
attention); artinya label menuntun kita untuk melihat hal-hal tertentu saja
dan menutup mata pada hal yang lainnya. Jika kita menerapkan label pada suatu
kelompok , kita akan cenderung memandang bahwa semua anggotanya sama. Label ras
dan etnis, bersifat sangat kuat, karena merupakan stereotip yang sarat dengan
emosi. Kata cemoohan seperti “indon” yang mengkerdilkan suatu kelompok etnis. Kata-kata
tersebut menghanyutkan kita dalam emosi, menghalangi untuk pemikiran rasional
kita mengenai orang yang dimaksud.
b. Label dan Self-Fulfilling Prophecy
Bebeberapa stereotip tidak hanya
membenarkan prasangka dan diskriminasi, tetapi bahkan menghasilkan suatu
perilaku yang digambarkan dalam stereotip. Sebagai contoh, stereotip negatif
menggambarkan kelompok X sebagi pemalas. Jika mereka malas, mereka tidak berhak
atas pekerjaan baik. Sikap ini dapat menciptakan suatu self-fulfilling prophecy, karena mereka tidak diberi pekerjaan yang
memerlukan pengabdian dan kemampuan yang tinggi. Kelompok X terbatas pada “pekerjaan
kotor”, jenis pekerjaan dengan orang “semacam itu.” Peristiwa semacam itu telah
memperkuat stereotip tentang kemalasan. Diskriminasi yang pada awalnya
menciptakan “kemalasan” tersebutlah yang tidak diperhatikan.
Sumber
Henslin, J.M . 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga
Rosnow, Ralph L. 1972. Poultry
and Prejudice. Psychology
Today,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar