-->

Senin, 28 April 2014

Teori Prasangka

Judging is bad

Apakah anda pernah melakukan prasangka? Lalu, apa itu prasangka? Dalam merespon sesuatu manusia seringkali membuat hipotesis awal atau jawaban-jawaban sementara meskipun belum diketahui kepastiannya. Manusia juga sering menggunakan refrensi dan persepsi yang ada dalam pikirnannya untuk mengeneralisir situasi di sekitarnya, meskipun refrensi dan persepsi yang dimilikinya belum tentu absah kebenarannya. Selain itu, manusia sering menduga-duga tentang peristiwa yang akan terjadi di masa depan, masa lalunya  dan peristiwa yang terjadi pada manusia yang lainnya. Bahkan sebelum manusia berusaha mencari fakta yang sebenarnya, yang pertama kali dilakukan adalah menduga-duganya terlebih dahulu. Sebagai contoh, ketika malam hari anda sendirian mengunjungi rumah yang telah ditinggal penghuninya selama bertahun-tahun, tentunnya akan muncul kekhawatiran di pikiran kita. Kekhawatiran tersebut semakin kuat ketika kita teringat dengan mitos dan cerita yang beredar tentang misteri rumah tersebut, sehingga membuat kita tidak dapat berpikir rasional. Pada akhirnya, kita memutuskan untuk tidak masuk karena kita sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan (irasional) yang tidak ingin kita alami jika kita mencoba masuk. Padahal ketika kita memutuskan untuk masuk, belum tentu hal-hal buruk yang muncul di pikiran kita akan terjadi. Selain dari contoh tersebut, tentunya manusia selalu mengalami hal-hal serupa, meskipun kasusnya berbeda. Dengan demikian, kita sebagai manusia sebenarnya sudah melakukan ‘prasangka’ sejak lama. Mungkin, ketika usia kita masih dini, kita lebih sering melakukannya karena pengetahuan kita tentang sesuatu masih terbatas. Perlu diketahui, prasangka setiap manusia mungkin dapat berbeda karena refrensi dan arsip yang tersimpan dalam pikirannya juga berbeda-beda.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai prasangka dari perspekti keimuan sosial. Penjelasan umum mengenai prasangka itu sendiri adalah suatu tindakan membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras (ciri fisik) seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional (Rosnow, Ralph,1972). John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori: (1) Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar. (2) Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai. (3) Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak. Menurut Johnson (1986), prasangka adalah sikap paotif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Seperti halnya sikap, prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sering sebut rasisme, sedangkan yang berdasarkan etnik kita sebut etnisisme. Selanjutnya Kartono, (1981) menguraikan bahwa prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas.
Melalui penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa prasangka memiliki sisi lain yang dapat `memperburuk` kehidupan manusia itu sendiri. Prasangka menjadi hal yang buruk bagi manusia jika tidak pernah ditindak lanjuti, dan diverifikasi kebenarannya. Prasangka juga dapat menutupi fakta, dan kebenaran yang terjadi. Beberapa jenis diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat hal itu tidak disetujui. Prasangka akan menjadi baik jika diikuti tindakan selanjutnya, seperti pengungkapan fakta dan kebenaran. Dalam kehidupan sosial prasangka dapat mempengaruhi interaksi seseorang, dimana hubungan mereka biasanya menjadi tidak harmonis dan bersikap sentimen. Meskipun di sisi lain prasangka justru membuat suatu hubungan antar manusia menjadi harmonis. Para ilmuwan sosial telah mengembangkan beberapa teori untuk menjelaskan prasangka. 
Prejudice

A.    Perspektif Psikologis
Sebagai pembanding awal, supaya tidak terlalu memandang sesuatu hanya dari satu perspektif saja, maka sebaiknya akan dijelaskan melalui perspektif psikologis lebih dulu, dan baru kemudian penjelasan melalui perspektif sosiologis. Tahun 1939, psikolog John Dollard mengemukakan bahwa prasangka merupakan produk frustasi. Frustasi muncul sebagai akibat minimnya upah kerja sehingga mereke mencari-cari sesuatu untuk dipersalahkan. Sasaran dari kambing hitam biasanya berkaitan dengan ras, etnis, gender, usia, agama minoritas yang secara tidak adil dipersalahkan atas permasalahan yang mereka alami. Bahkan frustasi ringan juga dapat meningkatkan prasangka. Psikolog Emory, Judah, dan Donald (1959) melakukan eksperimen untuk mengukur prasangka pada mahasiswa. Pertama mereka memberikan kepada para mahasiswa soal yang sulit sehingga mahasiswa tidak memiliki cukup waktu unutk menjawabnya. Setelah mahasiswa mati-matian menyelesaikan soal tersebut, para eksperimenter menggelengkan kepala dan menghina mahasiswa tersebut dengan berkata tidak dapat menyelesesaikan soal semudah itu. Tindakan selanjutnya, eksperimenter mengukur tingkat frustasi siswa yang mengalami penignkatan. Para mahasiswa mengarahkan frustasi mereka ke luar, ke orang-orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan hinaan yang eksperimenter berikan kepada para mahasiswa.
Psikolog Theodor Adoorno, juga berpendapat bahwa orang yang mudah berprasangka adalah seorang konformis yang tidak merasa nyaman. Orang-orang seperti ini memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap otoritas dan tunduk pada atasan mereka. Mereka percaya bahwa sesuatu itu hanya bisa benar dan salah. Adanya ambiguitas dapat mengganggu orang tersebut, khususnya di bidang seks dan agama. Mereka menjadi cemas manakala mereka berhadapan dengan norma dan nilai yang berbeda dari yang dianutnya. Adorno (1950) menguji sekitar dua ribu orang, mulai dari guru besar perguruan tinggi sampai penghuni penjara. Untuk mengukur etnosentrisme, anti-semitisme, dan dukungan terhadap pemimpin otoriter, ia memberi mereka tiga tes. Adorno menemukan bahwa mereka yang memperoleh skor tinggi pada suatu tes memperoleh skor tinggi pula pada kedua tes yang lain. Sebagai contoh, orang yang setuju dengan anti-semit setuju pula bahwa pemerintah harus bersifat otoriter dan cara hidup asing merupakan ancaman bagi cara hidup pribumi.
B.     Perspektif Sosiologis
Para sosiolog memiliki anggapan yang berbeda dengan penjelasan psikologis. Menurut mereke penjelasan psikologis tidaklah memadai. Sosiolog memandang bahwa prasangka itu bukanlah sesuatu yang ada dalam diri seseorang, melainkan faktor yang ada di luar dirinya. Fokus dari sosiologi adalam menitiberatkan pada bagimana lingkungan tertentu dapat  memupuk prasangka dan lingkungan yang lainnya tidak. Sosiologi menggunakan tiga perspektif untuk mengkaji prasangka yaitu, perspektif fungsionalisme, konflik dan interaksionisme simbolis.
1.      Perspektif Fungsionalisme
Hakekat prasangka yang fungsionalis dan dibentuk oleh lingkungan sosial diperagakan oleh psikolog Muzafer Carolyn Sherif (1953).  Dalam suatu kamp musim panas bagi laki-laki, anak-anak yang semulanya saling bersahabat baik ditempatkan pada pondok-pondok yang berbeda. Kemudian masing-masing pondok diatur agar antar penghuni pondok nantinya bersaing di bidang olahraga. Hanya dalam beberapa hari terbentuklah kelompok yang kuat, dan anak-anak yang semula bersahabat baik pada akhirnya saling mengejek dengan sebutan “cengeng” dan “perempuan” serta menampilkan ketidak sukaan yang intens satu sama lain. Studi Sherif menunjukan kepada kita beberapa pelajaran penting mengenai kehidupan sosial. Harap diperhatikan bahwa kita dapat mengatur lingkungan sosial untuk mengembangkan perasaan positif atau negatif terhadap orang, dan bagaimana prasangka muncul jika kita saling mempertemukan kelompok dalam suatu situasi kompetisi. Dalam hal ini prsangka yang dilakukan oleh seseorang dapat bersifat fungsional. Prasangka justru dapat menciptakan solidaritas kelompok (in group). Hubungan di dalam kelompok akan semakin kuat, dengan dimunculkannya prasangka-prasangka terhadap kelompok lainnya (out group). Dalam suatu kompetisi prasangka dapat memberikan suatu pengaruh yang cukup kuat. Meskipun demikian, prasangka juga dapat bersifat disfungsional, dimana prasangka justru merusak hubungan manusia.
2.      Perspektif Konflik
Para penganut teori konflik pun menganalisis apa yang terjadi jika suatu kelompok dihadapkan dengan kelompok lain, namun mereka lebih memfokuskan pada bagaimana pengaturan tersebut menguntungkan pihak yang berkuasa. Kaum yang berkuasa selalu memantau keinginan para pekerja atau bawahan untuk mendapatakan makanan yang lebih baik, layanan kesehatan, perumahan dan pendidikan. Untuk mendapatkan hal itu, para pekerja harus mendapatkan pekerjaan yang baik. Jika para pekerja bersatu mereka dapat menuntut  upah lebih tinggi dan kondisi pekerjaan yang lebih baik. Jika kaum kapitalis dapat memecah belah kaum pekerja (proletar), mereka dapat menekan anggaran untuk upah pekerja dan mencegah protes dari pekerja. Untuk melakukan ini kaum kapitalis (borjuis) memiliki dua senjata utama. Senjata pertama ialah membiarakn pekerja merasa tidak aman. Ketakutan kehilangan pekerjaan merupakan cara yang secara khsusus berperan sangat baik. Ketakutan semacam ini yang membuat mereka menjadi patuh. Senjata yang kedua adalah mengeksploitasi perseteruan ras dan etnis. Menghadapkan pekerja dengan pekerja lain akan memperlemah posisi tawar-menawar mereka. Penyebaran isu untuk menciptkan rasa takut dan kecurigaan antara kelompok, ras, dan etnis, dengan cara memberi tahu bahwa orang kulit hitam akan mengambil alih seluruh pekerjaan yang didominasi oleh orang kulit putih. Hasilnya adalah para pekerja terbagi mengikuti ras, etnis, dan gender.
Menurut para penganut teori konflik, konsekuensinya berisfat destruktif. Hal tersebut, sama yang dieksperimenkan oleh Sherif. Pembagian antar pekerja mengalihkan kemarahan dan permusuhan dari kaum elit kekuasaan dan menyalurkan emosi kuat ini ke kelompok dan ras lain. Alih-alih menyadari kepentingan bersama kelas sosial mereka dan berkerja demi kesejahteraan bersama, mereka belajar untuk saling menakuti dan tidak saling percaya.
3.      Perspektif Interaksionisme Simbolis
Jika para penganut teori konlik menitikberatkan peran kamu kapitalis dalam mengeksploitasi ketidaksetaraan ras dan etnis, para penganut interaksionisme simbolis mempelajari cara label mempengaruhi persepsi dan menciptakan prasangka.
a.       Label Menciptakan Prasangka
Para penganut interaksionisme simbolis menekankan bahwa label yang kita pelajari mempengaruhi cara pandang kita terhadap seseorang. Label membuat kita melakukan atensi selektif (selective attention); artinya label menuntun kita untuk melihat hal-hal tertentu saja dan menutup mata pada hal yang lainnya. Jika kita menerapkan label pada suatu kelompok , kita akan cenderung memandang bahwa semua anggotanya sama. Label ras dan etnis, bersifat sangat kuat, karena merupakan stereotip yang sarat dengan emosi. Kata cemoohan seperti “indon” yang mengkerdilkan suatu kelompok etnis. Kata-kata tersebut menghanyutkan kita dalam emosi, menghalangi untuk pemikiran rasional kita mengenai orang yang dimaksud.
b.      Label dan Self-Fulfilling Prophecy
Bebeberapa stereotip tidak hanya membenarkan prasangka dan diskriminasi, tetapi bahkan menghasilkan suatu perilaku yang digambarkan dalam stereotip. Sebagai contoh, stereotip negatif menggambarkan kelompok X sebagi pemalas. Jika mereka malas, mereka tidak berhak atas pekerjaan baik. Sikap ini dapat menciptakan suatu self-fulfilling prophecy, karena mereka tidak diberi pekerjaan yang memerlukan pengabdian dan kemampuan yang tinggi. Kelompok X terbatas pada “pekerjaan kotor”, jenis pekerjaan dengan orang “semacam itu.” Peristiwa semacam itu telah memperkuat stereotip tentang kemalasan. Diskriminasi yang pada awalnya menciptakan “kemalasan” tersebutlah yang tidak diperhatikan.
Sumber
Henslin, J.M . 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga
Rosnow, Ralph L. 1972. Poultry and Prejudice. Psychology Today,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar