-->

Rabu, 16 April 2014

Sosiologi Pendidikan

 Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si.
Memahami Sosiologi Pendidikan.
Kajian dana analisis sosiologi terhadap pendidikan dirintis oleh Durkheim dan Weber yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya. Pendidikan berparadigma sosial dikembangkan oleh John Dewey, William H. Killpatrick, Boyd H. Bode dan lainya. Kajian sosiologi dan sosiologi pendidikan di Indonesia dikenalkan melalui mata kuliah pada mahasiswa kependidikan di universitas. Bertujuan agar mahasiswa memiliki visi dan misi serta kemampuan melihat proses pendidikan dari sisi sosiologis.
            Sosiologi pendidikan pendidikan berfungsi menyediakan visi, pemahaman dan kemampuan terhadap proses pendidikan dengan memanfaatkan dinamika struktural dan proses sosial terkait dengan pendidikan. Proses dan hasil-hasil pendidikan berada dalam konteks kehidupan sosial. Kajian dan analisis terhadap keterkaitan fenomena sosial pada proses pendidikan menjadi sangat penting untuk diketahui dan di transformasikan dan digunakan dalam pengambilan keputusan, kebijakan maupun strategi dalam praktik pendidikan.
       Menurut Durkheim pendidikan adalah memelihara keberadaan dan kelangsungan masyarakat tempat pendidikan tersebut berada atau ditiadakan. Pendidikan menjadi corak cerminan dari masyarakat pendukungnya. Perbedaan pada masyrakat akan tercermin pula dalam perbedaan sistem pendidikanya. Perubahan social dari masyarkat agraris ke masyrakat industry berdampak pada perubahan proses pembagian kerja yang menuju sepesialisasi. Dalam masyrakat modern spesialisasi menjadi hal penting dan ini sangat memerlukan bergam jenis pendidikan dan ketramapilan. Durkheim (1956) menggambarkan bahwa masyarakat mengalami perubahan-perubahan oleh proses pembagian kerja yang terjadi.
            Sosiologi merupakan bidang kajian yang memiliki implikasi penting terhadap tumbuh kembangnya masyarakat, termasuk tumbuh kembangnya mereka dalam dunia pendidikan. Sosiologi pendidikan dapat membantu memberi bahan yang berharga dalam rangka dalam melihat proses pendidikan dengan berbagai proses pendidikan dengan berbagai masalah dan implikasi yang ditimbulkan. Selain itu sosiologi pendidikan dapat memahami perancanaan proses implementasi, dan implikasi penerapan program maupun kebijakan pendidikan tertentu. Sosiologi pendidikan merupakan kajian bagaimana institusi dan kekutan sosial mempengaruhi proses dan outcome pendidikan dan begitu pula sebaliknya 
            Beberapa alasan yang mendasari pengembangan pendidikan seharusnya  dilandasi dengan konsep dan teori sosial (ZainudincM., 2010) Pertama pendidikan harus bisa menyiapkan generasi yang siap memasuki masyrakat yang berubah menuju masyrakat berbasis pengetahuan. Kedua praktisi pendidikan dapat merumuskan cara menetapkan orientasi yang relevan dengan dunia yang berubah di satu pihak, namun di lain pihak dunia pendidikan tidak mengalami distorsi. Ketiga, pendidikan harus memiliki perangkat pisau sosiologi. Dengan bantuan perspektif sosiologis, sekolah dan guru akan dapat memahami proses-proses sosial.
            Webber membedakan dua tipe pendidikan pendidikan yaitu pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan karisma atau hal yang sifatnya magis dan pendidikan yang bertuujuan menamkan pelatihan dan keahlian khusus. (Max Webber dalam Siber dan Wilder, 1973). Sistem pendidikan erat terkait dengan kelompok status yang memiliki gaya konsumsi atau gaya hidup spesifik.
            Sosiologi pendidikan memiliki perspektif yang beragam sejalan dengan kergaman yang terjadi dalam perspektif kajian sosiologi pada umumnya. Dapat dilihat perbedaan sosiologi pendidikan yamg berorientasi pada kajian mikro dengan kajian berorientasi makro. Pada ranah kajian mikro adalah persepsi atau harapan guru, siswa, orang tua, kepala sekolah terhadap pendidikan, aksi dan interaksi orangtua siswa dengan guru dan pihak sekolah. Sedangkan ranah kajian makro yaitu institusi pendidikan, kelompok dan masyrakat pembelajaran komunitas guru, nilai dan budaya yang dikembangkan pendidikan.
            Sejumlah Teori sosial yang berada dalam ranah kajian makro seperti teori struktural fungsional, struktural konflik, marxian dan teori dependecia, cenderung melihat bagaiman pendidikan diorganisasikan dan sistem pendidikan dikembangkan. Sementara di level kajian mikro cenderung menggunakan perspektif fenomenologis, dengan penekanan  pada upaya memahami apa yang terjadi di balik fenomena, data, informasi atau realitas kehidupan individu. Perspektif mikro lebih menekankan pada upaya memahami dunia makna.
Dewasa ini peranan pendidikan banyak dikaitkan dengan keseluruhan usaha mengembangkan SDM seperti usaha kesehatan, perbaikan gizi, nutrisi dan kalori, program perbaikan ekosistem dan lingkungan, dll. Usaha pendidikan berada dalam gerakan makro perbaikan sumber daya manusia tersebut. Untuk itu perhatian pendidikan diarahkan ke institusi pendidikan dan institusi yang memiliki dan terkait dengan pendidikan (Suyata dalam diktat Sosiologi Pendidikan IKIP Yogyakarta).
Posisi sekolah adalah menjadi sentral dalam pendidikan. Dengan institusi yang lain, sekolah mempunyai fungsi pengembangan pribadi, transmisi kultural, transformasi sosial, pengendalian atau kendali sosial, pengembangan pimpinan masyarakat, pemeliharaan kesatuannasional, pengembangan warga negara dan kemanusiaan.

Kajian Teoritis dalam Sosiologi Pendidikan
            Perubahan sosial yang ada di masyarakat dapat mempengaruhi institusi pendidikan, bila perubahan sosial itu cepat terjadi maka dampaknya pun sangat dirasakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, sebab lembaga pendidikan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menurut teori struktural fungsional masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, dimana masing-masing lembaga memiliki kompleksitas yang berbeda-beda, hal ini ada pada setiap masyarakat. Misalnya, lembaga sekolah mempunyai fungsi mewariskan nilai-nilai yang ada pada generasi baru.
Semua lembaga yang ada di masyarakat akan senantiasa saling berinteraksi satu sama yang lain akan melaksanakan penyesuaian sehingga masyarakat dapat senantiasa berada pada keseimbanagan. Ketidak seimbangan akan muncul bila ada perubahan, namun itu bersifat sementara. Karena terjadi ketidak seimbangan maka akan mengundang lembaga lain untuk menyeimbangkan kembali.
Murphy (1979) menunjukan empat tema yang menonjol dalam teori fungsionalis sebagaimana yang diterapkan pada sosiologi pendidikan. Pertama, ada peran pendidikan formal dalam evolusi masyarakat modern dari partikularisme ke universalisme dan dari askripsi  ke prestasi dan peran sekolah dalam menyeleksi peran yang lebih kapabel untuk peran-peran dewasa tertentu. Kedua, menyelidiki disfungsi sistem pendidikan formal. Ketiga, adalah perdebatan mengenai pengaruh biologis atau bio psikologis yang bertentangan dengan tema sosial atau lingkungan dalam formulasi IQ, dan mencakup problema-problema yang secara teoritis terhadap yang oprasional. Keempat, bersifat empiris, yaitu studi dari otonomi fungsionalis yang relatif dari bagian-bagian suatu sistem sosial dan memusatkan pada kesanggupan pendidikan formal, mengenai ketidaksamaan, dan sebagainya.
Pendidikan dalam pandangan tokoh fungsionalis seperti Durkheim salah satu guru besar pedagogi di Sorbonne Paris. Drukheim (1977) menggambarkan betapa generasi muda memerlukan bantuan pendidikan untuk mempersiapkan diri, memasuki kehidupan di tengah masyarakat yang memiliki tata nilai tertentu. Persiapan itu perlu karena pemuda pada dasarnya belum siap memasuki kehidupan masyakat. Menurut Durkheim masyarakat dibangun bersama dengan cara saling bekerjasama antar anggota. Individu tidak dapat mencapai keinginanya sendiri. Individu di tengah masyarakat mereka memiliki spesifikasi. Mereka terbagi dalam mode pembagian kerja yang didalamnya masing-masing memproduksi barang jasa tertentu yang dibutuhkan orang lain.
Durkheim mengakui saling ketergantungan ekonomi tidak cukup. Menurut dia, masih harus ada kesepakatan dan konsensus mengenai apa yang seharusnya kita lakukan dan yang akan kita lakukan. Durkheim yakin ada nilai dan ide utama setiap masyarakat tentang penghargaan terhadap akal sehat, ide, dan sentimen dasar moralitas demokratik yang mereka berikan pada masyarkat. Menurut Durkheim, melalui pendidikan moral yang memuat sosialisasi pengalaman diperoleh dari internalisasi masyarakat terhadap nilai dan ide sentral masyrakat. Pendidikan dipersepsikan oleh Durkheim sebagai suatu kesatuan utuh dari masyrakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga dipandang sebagai institusi yang berfungsi sebagai “baby-sitting” yang bertugas agar warga masyarakat tidak ada perilaku yang menyimpang.
Talcott Parsons adalah tokoh fungsionalis yang paling berpengaruh dalam kajian mengenai peran utama sekolah dalam masyarakat khusususnya masyarakat Amerika. Tulisan-tulisan Parsons dianggap representatif dari seluruh pendekatan fungsional (Scimecca, 1980) seperti sekolah sebagai sarana sosialisasi utama. Dalam hal ini Parsons melihat dua fungsi dari sekolah, yaitu mengarahkan anak dari orientasi askriptif ke orientasi prestasi dan alokasi seleksi atau diferensial ke peran-peran dewasa yang diberi penghargaan (hadiah yang tidak sama).
Parsons mengungkapkan, fungsi sosialisasi sebagai perkembangan individu dari berbagai komitmen dan kapasitas yang merupakan syarat-syarat essensial dari kegiatan peran mereka di kemudian hari (Parsons,1959). Sekolah merupakan struktur utama untuk menanamkan sistem umum ini, selama bertahu-tahun untuk mengarahkan para individu ke arah-arah peran dewasa, kompeten dan memiliki motivasi yang wajar.
Parsons mengutamakan fungsi spesial dari sekolah adalah untuk mensosialisasikan anak dari orientasi partikularisme adalah menganai tingkat objektivitas atau standar yang digunakan secara objektif murni atau sempurna. Sekolah berfungsi untuk mensosialisasikan anak dari orientasi partikularisme dan askripsi yang biasa dialaminya di rumah ke orientasi universal dan prestasi yang pada umumnya lebih dibutuhkan kelak dikemudian hari. Siswa yang memiliki prestasi tinggi dan memiliki motivasi dapat terpilih untuk peran-peran yang penting dan sulit. Sehingga seleksi dan alokasi yang dilakukan melalui proses di sekolah dan prestasi motivasinya adalah benar-benar fungsional dan sesuai dengan kebutuhan masyrakat. Parsons juga menyadari bahwa tidak semua siswa diberi kesempatan sama, akan berhasil pula.
Robert K. Merton sorang ahli sosiologi kontemporer ynag paling terkenal, yang telah berhasil menjelaskan makna dan konsep. Merton dengan hati-hati menunjukan bahwa umumnya masyarakat tidaklah seluruhnya sempurna terintegrasi sehingga setiap kegiatan kultural yang terstandar dan dan terlembaga adalah fungsional. Merton (1969) memperkenalkan perbedaan yang sangat berguna antara antara fungsi manifes dan fungsi laten. Funsi manifes adalah fungsi yang disengaja direncanakan dan bersifat terbuka sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak sengaja atau tidak diakui.
Pendidikan dalam teori dan tokoh konstruksionis seperti Max Webber dan Peter L. Piere Bourdieu dan Berger dan Thomas Luckman. Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Para konstruktivistik tidak sependat dengan adanya suatu pandangan bahwa mngajar dalah mentransfer pengeathuan. Pada dasarnya pengetahuan itu tidak dapat ditransfer, melainkan di konstruksi sendiri oleh peserta didik. Menurut pandangan kontruksivisme , belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan merupakan suatu proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Pembelajaran dalam paradigma konstruktivis menjadikan siswa aktif dan menentukan apa yang harus dilakukan kepada bagaimana cara siswa mengkonstruk makna kehidupan dan dunianya.
Pendidikan dalam pandangan tokoh konstruksionis Max webber dapat dianggap sebagai suatu variabel kelas atau variabel status. Pengetahuan dan ketrampilan didapat seseorang melalui pendidikan di sekolah dapat mempertinggi kemampuan pemasaran di dunia ekonomi yang akan mengantarkannya pada posisi kelas tinggi. Paham Weberian beranggapan bahwa ketrampilan-ketrampilan yang dituntut pada pada pelaksanakan pekerjaan dapat dikerjakan secara efisien di tempat kerja dan belum tentu mereka yang berpendidikan tinggi lebih terampil dari mereka yang diberi latihan-latihan.
Peter L. Berger dan Thomas Luckman menyatakan bahwa manusia mengkonstruksi realitas sosial meskipun melalui proses subyektif namun dapat berusaha menjadi subjektif. Hubungan antar individu dan institusi bersifat dialektis atau interaktif dalam suatu rumusan yang berisi tiga momen yaitu masyarakat adalah produk manusia, masyarakat adalah realitas objektif, manusia adalah produk masyarakat. Berger dan Luckman menjelaskan bahwa makna-makna umum yang dimiliki bersama dan diterima tetap dilihat sebagai dasar dari organisasi sosial, namun makna yang berkembang diluar makna-makna umum merupakan hasil manusia yang muncul dari lingkungan sosial yang diciptakannya.
Bourdieu (Tilaar, 2007) mengungkapkan habitus muncul dalam beberapa bentuk seperti kencenderungan empiris untuk bertindak, motivasi atau prefensi, perilaku menjelma menjadi kepribadain, tantangan dunia, ketrampilan dan kemampuan sosial dan aspirasi yang berkaitan dengan hidup. Bourdieu menggunakan konsep modal budaya dalam rangka mengeksplorasi perbedaan outcome atau prestasi siswa dari berbagai kelas yang berbeda dalam sistem pendidikan di Prancis.Meurut Bourdieu modal budaya kelompok dominan, pada tataran praktis dan dalam relasinya dengan budaya diasumsikan menjadi type modal budaya yang dianggap paling tepat. Modal budaya kelompok dominan inilah yang dinilai legitimate.

Sumber
Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat  Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya
Zainudin, Maiki. 2010. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar